Senin, 19 Desember 2011

Tenaga Kerja Wanita pada Industri Rokok di Kota Kudus dalam Perspektif Gender

1


A.            PENDAHULUAN

1.            Latar Belakang
Kudus adalah sebuah kota yang terkenal dengan sebutan kota kretek. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh rokok . secara historis munculnya produk rokok asli Indonesia yang dikenal dengan sebutanrokok kretek ini pertama kali muncul dari Kudus. Secara ekonomis,perkembangan industri rokok kretek di Kudus, mulai dari rokok sebagai kerajinan tangan sampai indutri pabrikan, dan tak lepas pula rokok kretek sebagai produk industri rumah tangga khas Kudus.Industri rokok kretek sebagai produk massal yang menyerap danmelibatkan sejumlah besar tenaga kerja (buruh), sehingga dengan demikia keberadaan indurti rokok kretek sangat berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan ekonomi warga masyarakat Kudus.Harus diakui, bahwa industri rokok memiliki kontribusi besar dalamperekonomian nasional dengan setoran cukainya.
 setiap kita melihat para buruh rokok di kudus parapekerja  buruh rokok yang sebagain besar adalah  perempuan..  Habis Subuh mereka berangkat dari rumah dengan bersepeda atau naik angkot. Mereka bekerja mulai pagi sampai Sore. Tangan terampil mereka segera beraksi. Selembar kertas diletakkan di mesin linting dengan tangan kiri.
                Buruh wanita tersebut sangat antusias bekerja di pabrik rokok tersebut untuk menambah kebutuhan keuangan di kelurganya. Banyak hal yang terkait dengan ekonomi yang menyebabkan perempuan tk diakui perannya karena kiprahnya hanya diseputar ekonomi keluarga dan rumah tangga, masih sedikit pengakuan pada kaum perempuan kerika mereka sukses dan berhasil menjadi pelaku ekonomi karena dilakukan oleh laki-laki. Kiprah laki-laki di dunia ekonomi diakui karena mereka bisa masuk pada level penentu kebijakan dan duduk pada jabatan-jabatan strategis di kantor-kantor yang terkait dengan perekonomian. Sementra wanita belum banyak yang menduduki level tersebut, akibatnya kegiatan perempuan dibidang ekonomi yang terpusat pada sekitar keluarga dan dirinya sendiri, meskipun menghasilkan bahkan menjadi penunjang hidup keluarga, tak diakui dan hanya dianggap sebagai pekerja sambilan.
                Banyak hal yang mencerminkan ketimpangan di bidang ekonomi seperti wanita dianggap lebih rendah dari pada laki-laki untuk tanggung jawab yang sama besar,karena wanita dianggap lajang, bukan kepala keluarga. Wanita belum diakui sebagai pekerja profesional. Konsep wanita sebagai ibu dan istri mengalami perluasan kesektor publik yang seharusnya menghargai profesionalisme. Wanita  sebagai obyek masih menapatkan penekanan saat mereka terlibat dalam bidang publik, padahal wanita sudah mampu memainkan peran sebagai subyek dalam berbagai proses ekonomi. Sektor publik tampak belum disiapkan untuk menerima kehadiran wanita dengan semestinya. Hal ini memaksa wanita untuk selalu berusaha menjadi laki-laki di dunia kerja. Dia harus bersaing ketat dengan rekan sesama kerja yang tidak saja laki-laki tetapi juga wanita. Dia tidak hanya bisa menjadi ibu dan istri tetapi juga harus menunjukkan bahwa dia juga bisa menjadi pekerja yang profesional. Karena rekan kerjanya yang laki-laki belum bisa menerima kehadiran ibu rumah tangga di dunia kerja. Kalaupun sudah, pasti masih dianggap pekerja kelas dua yang berbeda dengan laki-laki. Dia harus mengatur waktu sedemikian rupa sehingga dia merasa tidak menyalahi kodrat sebagai perempuan. Kodrat wanita ini juga terus dipoduksi dalam diskursus diskursus sehingga wanita menjadi semakin terbelenggu dan terkakang dengan slogan dan harapan yang ada dalam masyarakat.
                Gejala ketrlibatan perempuan ke luar rumah untuk bekerja, menandakan bahwa wanita telah berusaha merekontruksi sejarah hidupnya, dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak hanya sebagai isti atau ibu, tetapi juga sebagai pekerja dan wanita karier. Namun demikian dalam keterlibatan semacam ini,bukan tanpa biaya, wanita harus mengeluarkan banyak biaya yang tidak disadari untukmemasuki dunia kerja.
                wanita yang bekerja yang menyandang banyak beban akan berimplikasi terhadap segala aspek kehidupannya. Sudah pasti ketika dia bekerja akan ada pergeseran-pergeseran peran dalam kehidupan rumah tangganya. Akan terjadi evolusi dalam rumah tangganya. Dari seorang wanita yang dianggap selalu berada dirumah tiba-tiba harus keluar rumah bekerja, tentu ada situasi yang memerlukan diskusi lebih jauh. Pengaruh sebagai perempuan yang punya penghasilan tersendiri juga perlu pemahaman yang menyeluruh, karena dibanyak kasus ternyata kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh wanita tidak secara langsung menaikkan posisi tawar menawar mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat.

2.            Rumusan Masalah
1.            Mengapa mayoritas pekerja buruh pabrik di Kudus mayoritas adalah wanita?
2.            Faktor apa saja yang mendorong mereka untuk bekerja di pabrik rokok?
3.            Bagaimana perspektif masyarakat tentang pekerja buruh  wanita di pabrik rokok?

3.            Tujuan
1.            Supaya dapat mengetahui penyebab  banyaknya pekerja wanitasebagai buruh pabrik di Kudus.
2.            Agar dapat mengetahui faktor-faktor yang mendorong para buruh wanita untuk bekerja.
4.            Supaya mengetahui pandangan masyarakat terhadap pekerja buruh  wanita di pabrik rokok.

4.            Manfaat
1.            Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang pandangan pekerja wanita  sebagai buruh pabrik rokok.
2.            Menyelesaikan Tugas Ujian Akhir mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif


B.            LANDASAN TEORI DAN TINJAAUAN PUSTAKA
1.            LANDASAN TEORI
1.            Teori gender
•             perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
2.            Teori fungsionalisme Struktural
Oleh Emile Durkheim
•             Memandang masyarakat (modern/organis) terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri. Jika semua bagian menjalankan fungsinya masyarakat dalam keadaan normal, jika tidak maka dalam keadaan abnormal.
3.            Teori konflik
Oleh Lewis A. Coser
•             Fungsi konflik
             Konflik memiliki konsekuensi positif yang membantu mempertahankan sistem sosial(ketahanan dan adaptasi)
             Konsep penting in-group vs out grou, katup penyelamat, konflik realistis dan konflik non realistis
2.            TINJAUAN PUSTAKA
Partisipasi Angkatan Kerja Wanita
Partisipasi kaum wanita dalam angkatan kerja di negara-negara dunia ketiga telah meningkat secara dramastis pada tahun 1990 di mana untuk negara-negara Asia meningkat sampai 4,3%. Tetapi kebanyakan kaum wanita tersebut hanya bekerja di tempat-tempat yang tidak banyak menghasilkan pendapatan, mereka terpusat di sektor pertanian sebanyak 80% atau sektor-sektor informal perkotaan 25 hingga 40%. Kaum wanita hampir selalu mengalami diskriminasi dalam hal perolehan imbalan dan peningkatan dalam pekerjaan (Todaro, 2000).
Di sejumlah kawasan di dunia ini, wanita banyak terlibat dalam arus imigrasi desa kota, mayoritas penduduk di banyak perkotaan terdiri dari kaum wanita. Meskipun secara historis perpindahan kaum wanita selalu dalam rangka mengiringi sang suami. Tetapi akhir-akhir ini banyak wanita yang merantau sendirian ke kotakota meninggalkan keluarganya di kampung dalam rangka mencari peluang-peluang ekonomi guna meningkatkan status dan taraf hidupnya.
Seperti halnya di negara berkembang lainnya, Indonesia mengalami tekanan berat dari pertambahan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahunnya, penyediaan lapangan usaha bagi mereka merupakan masalah nasional yang paling rumit dalam situasi perekonomian yang tidak terlalu cerah seperti sekarang, sebagai akibat belum pulihnya resesi ekonomi. Penyediaan lapangan usaha bagi wanitamemerlukan pertimbangan khusus mengingat adanya hambatan norma budaya atau agama sehingga tidak setiap lapangan usaha cocok untuk mereka. WanitA di Indonesia boleh dikatakan sangat beruntung dibandingkan dengan di negara lainnya.
Wanita di Indonesia berpeluang sama besarnya dengan laki-laki dalam memasuki lapangan kerja. Di beberapa negara lain seperti wanita-wanita Hindu dan Arab wanita kurang mendapat tempat dalam kegiatan ekonomi di perkotaan. Wanita Hindu dan Arab bukan saja tidak hadir sebagai penjual di pasar-pasar, mereka juga minoritas sebagai pembeli, karena prialah yang berbelanja makanan maupun pakaian. Kenyataan ini sangat berbeda dengan keadaan di Indonesia, di mana kegiatan perdagangan menurut hasil beberapa penelitian justru didominasi oleh kaum wanita.
Wanita merupakan sumber daya ekonomi yang tidak kalah penting dibandingkan dengan pria, wanita sesungguhnya memegang fungsi yang sangat penting dalam keluarga. Keberadaan wanita dalam rumah tangga bukan sekedar pelengkap reproduksi saja, namun lebih daripada itu banyak penelitian membuktikan bahwa wanita ternyata seringkali memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga serta masyarakat.
Tingkat partisipasi kerja wanita pada umumnya memang masih rendah bila dibandingkan dengan pria. Di mana jumlah tenaga kerja perempuan yang terlibat dalam pasar kerja hanya sekitar separuh dari jumlah pria (Suyanto, 2006). Tetapi keberadaan wanita yang secara absolut lebih besar dari pada penduduk laki-laki, vvanita merupakan potensi yang harus dimanfaatkan untuk menunjang kelancaran proses pembangunan. Pemberdayaan wanita harus dilakukan sesegera mungkin agar wanita dapat mengisi kegiatan pembangunan sehingga anggapan bahwa wanita itu hanya menjadi beban pembangunan bisa dihilangkan.
Walaupun kaum wanita banyak terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi, mereka cenderung hanya menggeluti usaha sangat kecil atau sambilan sebagai bagian dari strategi kelangsungan hidup keluarganya. Dalam konteks ini, kebutuhan mereka akan kredit baik untuk modal kerja maupun untuk modal investasi sukar terpenuhi. Mereka dihadapkan pada kendala tidak memiliki jaminan, mengingat sebahagian besar status pemilikan tanah atas nama sang suami, sekalipun tanah tersebut dimiliki secara bersama-sama.
Sekalipun partisipasi wanita dalam pasar kerja meningkat secara signifikan, diskriminasi terhadap wanita pekerja tetap menjadi masalah besar. Sebagian dari perbedaan tingkat upah antara wanita dan laki-laki hanya diterangkan oleh diskriminasi seksual (ILO, 2003). Diskriminasi itu sering tercermin dalam perlakuan dan persyaratan bekerja yang berbeda, lebih banyak wanita dari laki-laki yang dipekerjakan secara paruh waktu dengan atau tanpa kontrak untuk waktu terbatas atau sebagai pekerja borongan. Hubungan kerja demikian sangat merugikan para pekerja,mereka umumnya dibayar upah secara harian tanpa tunjangan dan kepastian.
Pada pihak lain tingkat upah perempuan pekerja tetap lebih rendah dibandingkan dengan tingkat upah pria pekerja dan peningkatan partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan ekonomi belum diikuti dengan integrasi kebutuhan serta masalah wanita yang lebih efektif dalam proses pengambilan keputusan. Sebagian besar wanita pekerja berada dalam sektor non formal. Hasil pembangunan yang dinikmati wanita masih terbatas oleh karena rendahnya kualitas sumber daya manusiayang mereka miliki. Kemungkinan wanita memperoleh pendidikan dan pelatihan masih lebih terbatas jika dibandingkan dengan saudara laki-lakinya.

Perkembangan Peranan Wanita

Perubahan di bidang sosial ekonomi yang dialami Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir ini dengan sendirinya juga menyentuh peranan wanita dalam masyarakat, banyak pertanda adanya perubahan ini. Dalam struktur pemerintahan terlihat timbulnya lernbaga Menteri Urusan Wanita dan adanya wanita sebagai Menteri dan yang lebih mengagumkan lagi wanita pernah menjadi pemimpin nomor satu di negeri ini. Semakin banyaknya tempat yang dialokasikan bagi peranan wanita di dalam dokumen perencanaan negara atau pemerintahan juga merupakan pencerminan dari perubahan yang telah terjadi di masyarakat.
Wanita Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan turut mengambil bagian dalam perjuangan melawan kekuatan kolonial untuk mendirikan negara Indonesia modern (Suryo Chondro, 2004) peran serta dalam perjuangan telah memberikan pergerakan wanita suatu legitimasi yang kokoh dalam negara Indonesia yang berdaulat.
Peranan wanita dalam pembangunan semakin meluas di mana pada GBHN 1973 meletakkan peran wanita dalam pembangunan berkaitan dengan kehidupankeluarga. Pada GBHN tersebut juga dijelaskan bahwa negara memperluaskan dunia wanita sampai ke segala bidang tetapi dengan memperingatkan bahwa peran wanita dalam pembangunan tidak mengurangi peranannya dalam bidang keluarga sejahtera (Ms, 2004).
Kegiatan wanita dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga antara lain melalui organisasi pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Hak kewajiban dan kesempatan dalam pembangunan terus berkembang sampai GBHN 1983 mengatakan sama dengan pria dalam segala kegiatan pembangunan tetapi tetap mengikat posisi wanita dalam lingkungan keluarga. (Azis, 2004). GBHN 1993 menganjurkan .iklim sosial budaya perlu dikembangkan agar lebih mendukung upaya mempertinggi harkat dan martabat wanita hingga dapat semakin berperan dalam masyarakat dan dalam keluarga secara selaras dan serasi. Wanita memegang kunci utama dalam menciptakan keluarga sejahtera yang pada akhirnya bangsapun ikut menjadi makmur (Prisma 53, 2004).
Dalam pasar tenaga kerja wanita Indonesia tidak bisa diabaikan pada tahun 1993 tenaga kerja wanita mencapai ± 1/3 dari kebutuhan akan tenaga kerja berarti tenaga kerja wanita sangat diperlukan di berbagai lapangan pekerjaan. Berkatpengakuan ini peran wanita yang berkiprah di luar rumah tangga juga ikut diakui. Jaminan kerja, perlindungan, pelayanan dan hak wanita makin meluas dan makin diperhatikan, namun pada akhirnya hal ini masih saja terpaut pada ikatan keluarga dan .kodrat. martabat dan harkat wanita.
Wanita diharapkan memainkan peranan ganda dalam pembangunan, yaitu bekerja di masyarakat dan bekerja di rumah tangga. Hal inilah yang membebani kaum wanita sementara sarana yang memerlukan peran wanita dalam lapangan kerja belum bisa dipenuhi seperti sarana tempat penitipan anak, dan lain-lain.

Adapun menurut Hidayat yang termasuk pencari kerja adalah:
1. Golongan pencari kerja yang pertama sekali masuk angkatan kerja.
2. Golongan yang melepaskan pekerjaan atas kehendak sendiri untuk mencari
pekerjaan yang lebih sesuai.
3. Golongan yang diberhentikan dari pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan.
4. Golongan yang sedang bekerja tetapi juga berusaha mencari pekerjaan yang
lebih baik (Hidayat, 2006).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Tenaga Kerja
1.            Jumlah Penduduk
Makin besar jumlah penduduk, makin banyak tenaga kerja yang tersedia bai untuk angkatan kerja atau bukan angkatan kerja dengan demikian jumlah penawaran tenaga kerja juga akan semakin besar.
2. Struktur Umur
Penduduk Indonesia termasuk dalam struktur umur muda, ini dapat dilihat dan bentuk piramida penduduk Indonesia. Meskipun pertambahan penduduk dapat ditekan tetapi penawaran tenaga kerja semakin tinggi karena semakin banyaknya penduduk yang memasuki usia kerja, dengan demikian penawaran tenaga kerja juga akan bertambah.
3. Produktivitas
Produktivitas merupakan suatu konsep yang menunjukkan adanya kaitan antara output dan jam kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seseorang tenaga kerja yang tersedia. Secara umum produktivitas tenaga kerja merupakan fungsi daripada pendidikan, teknologi, dan ketrampilan. Semakin tinggi pendidikan atau ketrampilan tenaga kerja maka semakin meningkat produktivitas tenaga kerja.
4. Tingkat Upah
Secara teoritis, tingkat upah akan mempengaruhi jumlah penawaran tenaga kerja. Apabila tingkat upah naik, maka jumlah penawaran tenaga kerja akan meningkat dan sebaliknya. Hal ini dapat dibuktikan pada kurva penawaran tenaga kerja yang berslope positif.
5. Tingkat Pendapatan
Secara teoritis, apabila upah meningkat dengan asumsi jam kerja yang sama, maka pendapatan akan bertambah. Sehingga kita akan menjumpai ibu rumah tangga yang bekerja merasa tidak perlu lagi membantu suami untuk mencari nafkah, akibatnya tingkat partisipasi angkatan kerja akan berkurang, dengan demikian supply tenaga kerja yang efektif akan berkurang.
6. Kebijaksanaan Pemerintah
Dalam menelaah penawaran tenaga kerja maka memasukkan kebijaksanaan pemerintah kedalamnya adalah sangat relevan. Kita misalkan kebijaksanaan pemerintah dalam hal wajib belajar 9 tahun akan mengurangi jumlah tenaga kerja, dan akan ada batas umur kerja menjadi lebih tinggi. Dengan demikian terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja.
7. Wanita yang Mengurus Rumah Tangga
Wanita yang mengurus rumah tangga tidak termasuk dalam angkatan kerja, tetapi mereka adalah tenaga kerja yang potensial yang sewaktu-waktu bisa memasuki pasar kerja. Dengan demikian semakin besar jumlah wanita yang mengurus rumah tangga maka penawaran tenaga kerja akan berkurang atau sebaliknya.
8. Penduduk yang Bersekolah
Sama dengan hal di atas penduduk yang bersekolah tidak termasuk dalam angkatan kerja tetapi mereka sewaktu-waktu dapat menjadi tenaga kerja yang potensial, dengan demikian semakin besar jumlah penduduk yang bersekolah berarti supply tenaga kerja akan berkurang. Oleh karena itu jumlah penduduk yang bersekolah perlu diperhitungkan untuk masa yang akan datang.
9. Keadaan Perekonomian
Keadaan perekonomian dapat mendesak seseorang untuk bekerja memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam satu keluarga harus bekerja semua apabila pendapatan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga, atau seorang mahasiswa yang tamat tidak mau bekerja karena perekonomian orang tua sangat memadai, atau seorang istri tidak perlu bekerja karena perekonomi

























C.            METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif,pendekatan yang di pakai adalah
1.            Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme Simbolik adalah salah satu model penelitian  yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa¬fah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan  atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi kebiasaan sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi manusia banyak menampilkan simbol yang bermakna, dan tugas peneliti adalah menemukan makna tersebut.
Prasetia (2007) menyebutkan tiga premis inte¬raksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti . Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Sebagai contoh, tentara berseragam, mobil polisi, tukang ojek, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari ianteraksi sosial seorang dengan orang lain”. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre¬tasikan situasi.
Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (dalam Prasetia, 2007) menambahkan lagi tujuh proposisi yang terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya. Pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala.  Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial.  Ketiga, komunitas manusia merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Ke¬enam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna..
Pemaknaan interaksi simbolik bisa melalui empat proses. Pertama, terjemahan (translation) yang dilakukan dengan cara mengalihbahasakan ungkapan penduduk asli menjadi tulisan. Kedua, aktivitas penafsiran yang dilakukan sesuai dengan  latar belakang atau konteksnya, sehingga terangkum konsep yang jelas. Ketiga, ekstrapolasi, yang menggunakan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji. Keempat, kegiatan pemaknaan, yang menuntut kemam¬puan integratif inderawi, daya pikir, dan akal budi peneliti. Pemaknaan sebaiknya tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan¬-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya. Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh.






1 komentar:

Posting Komentar